Saturday, June 21, 2014

Pendekatan, Teori, dan Praktek Konseling



Kali ini, saya akan sedikit mengulang tentang penjelasan pendekatan dan prektek dalam konseling, serta bagaimana teknik-teknik yang biasa digunakan dalam stiap pendekatan-pendekatan tersebut.
1.       Pendekatan Psikoanalitik
·         Basic
salah satu aliran utama dalam sejarah psikologi adalah teori psikoanalitik Sigmund Freud. Psikoanalitik adalah sebuah model perkembangan kepribadian, filsafat tentang sifat manusia, dan metode psikoterapi. Secara historis, psikoanalisis adalah alliran pertama dari tiga aliran utama psikologi.
Menurut pandangan psikoanalitik, struktur kepribadian terdiri dari tiga system, yaitu: id, ego dan superego. Dimana id aadalah komponen biologis, ego adalah komponen psikologis, dan superego merupakan komponen sosial.
Freud memandang tentang sifat manusia pada dasarnya pesimistik, deterministic, mekanistik, dan reduksionistik. Menurut Freud, manusia dideterminasi oleh kekuatan-kekuatan irasionall, motivasi-motivasi tak sadar, kebutuhan-kebutuhan dan dorongan-dorongan biologis dan naluriah, dan oleh peristiwa-peristiwa psikoseksual yang terjadi selama lima tahun pertama dari kehidupan.
·         Therapeutic Relationship
Hubungan klien dengan analisis dikonseptualisasikan dalam proses tranferensi yang menjadi inti pendekatan psikoanalitik. Transferensi mendorong klien untuk mengalamatkan pada analisis “urusan yang tak selesai”, yang terdapat dalam hubungan klien di masa lampau dengan orang yang berpengaruh. Proses pemberian treatment mencakup rekonstruksi klien dan menghidupkan kembali pengalaman-pengalaman masa lampaunya. Setelah terapi berjalan dengan baik, perasaan-perasaan dan konflik-konflik masa kanak-kanak klien mulai muncul ke permukaan dari ketidaksadaran.
·         Teknik dan Prosedur Teraupetik
Teknik- teknik pada terapi psikoanalitik disesuaikan untuk meningkatkan kesadaran, memperoleh pemahaman intelektual atas tingkah laku klien, dan untuk memahami makna berbagai gejala. Kelima teknik dasar terapi psikoanalitik tersebut adalah:
1.       Asosiasi Bebas
Teknik utama terapi psikoanalitik adalah asosiasi bebas. Analisis dengan meminta kepada klien agar membersihkan pikirannya dari pemikiran-pemikiran dan renungan-renungan sehari-hari dan sebisa mungkin, mengatakan apa saja yang melintas dalam pikirannya, betapapun menyakitkan, dengan melaporkannya segera tanpa ada yang disembunyikan, klien terhanyut bersama segala perasaan dan pikirannya. Asosiasi bebas adalah suatu metode pemanggilan kembali pengalaman-pengalaman masa lampau dan pelepasan emosi-emosi yang berkaitan dengan situasi-situasi traumatic di masa lampau, yang dikenal dengan sebutan katarsis. Katarsis hanya menghasilkan peredaan sementara atas pengalaman-pengalaman menyakitkan yang dialami klien, tidak memainkan peran utama dalam proses treatmen psikoanalitik kontemporer.
2.       Penafsiran
Penafsiran adalah suatu prosedur dasar dalam menganalisis asosiasi-asosiasi bebas, mimpi-mimpi, resistensi-resistensi, dan transferensi-trsnferensi. Prosedurnya terdiri atas tindakan-tindakan analisis yang menyatakan, menerangkan, bahkan mengajari klien makna-makna tingkah laku yang dimanifestasikan oleh mimpi-mimpi, asosiasi bebas, resistensi-resistensi, dan oleh hubungan terapeutik itu sendiri.
3.       Analisis Mimpi
Analisis mimpi adalah sebuah prosedur yang penting untuk menyingkap bahan yang tak disadari dan memberikan kepada klien pemahaman atas beberapa area masalah yang tidak terselesaikan. Selama tidur pertahanan-pertahanan melemah, dan perasaan-perasaan yang direpres muncul ke permukaan. Freud memandangg mimpi-mimpi sebagai “jalan istimewa menuju ketidaksadaran”, sebab melalui mimpi-mimpi itu hasrat-hasrat, kebutuhan-kebutuhan, dan ketakutan-ketakutan yang tak disadari, diungkapkan. Beberapa motivasi sangat tidak bisa diterima oleh orang yang bersangkutan sehingga diungkapkan. Beberapa motivasi sangat tidak bisa diterima oleh orang yang bersangkutan sehingga diungkapkan dalam bentuk yang disamarkan atau disimbolkan alih-alih diungkapkan secara terang-terangan dan langsung.
4.       Analisis dan Penafsiran Resistensi
Karena resistensi ditujukan untuk mencegah bahan yang mengancam memasuki kesadaran, analisis harus menunjukannya dan klien harus menghadapinya jika dia mengharapkan bisa menangani konflik-konflik secara realistis. Penafsiran analisis atas resistensi ditujukan untuk membantu klien agar menyadari alasan-alasan yang ada di balik resistensi sehingga dapat ditanganinya.
5.       Analisis dan Penafsiran Transferensi
Analisis tranferensi adalah teknik yang utama dalam psikoanalisis sebab mendorong klien untuk menghidupkan kembali masa lampaunya dalam terapi. Ia memungkinkan klien mampu memperoleh pemahaman atas sifat dari fiksasi-fiksasi dan deprivasi-deprivasinya, dan menyajikan pemahaman tentang pengaruh masa lampau terhadap kehidupannya sekarang. Penafsiran hubungan transferensi juga memungkinkan klien mampu menembus konflik-konlik masa lampau yang tetap dipertahankannya hingga sekarang dan yang menghambat pertumbuhan emosionalnya.

2.       Pendekatan Client Centred (Client Centre Therapy/ CCT)
·         Basic
Carl R. Rogers mengembangkan terapi client centered sebagai reaksi terhadap apa yang disebutnya keterbatasan-keterbatasan mendasar dari psikoanalisis. Pada hakikatnya client centered adalah cabang khusus dari terapi humanistic yang menggarisbawahi tindakan mengalami klien berikut dunia subjektif dan fenomenalnya. Terapi client centered berakar pada kesanggupan klien untuk sadar dan membuat putusan-putusan.
·         Therapeutic Relationship
Menurut Carl Rogers (1967), keenam kondisi berikut diperlukan dan memadai bagi pengubahan kepribadian:
1.       Dua orang berada dalam hubungan psikologis
2.       Orang pertama, yang akan kita sebut klien, ada dalam keadaan tidak selaras, peka dan cemas.
3.       Orang yang kedua, yang akan kita sebut terapis, ada dalam keadaan selaras atau terintegrasi dalam berhubungan.
4.       Terapis merasakan perhatian positif tak bersyarat terhadap klien.
5.       Terapis merasakan pengertian yang empatik terhadap kerangka acuan internal klien dan berusaha mengomunikasikan perasaan ini kepada klien.
6.       Komunikasi pengertian empatik dan rasahormat yang positif tak bersyarat dari terapis kepada klien setidak-tidaknya dapat dicapai.
·         Teknik dan prosedur terapeutik
Dalam kerangka client centered, teknik-tekniknya adalah pengungkapan dan penkomunikasian penerimaan, respek, dan pengertian, serta berbaggi upaya dengan klieen dalam mengembangkan kerangka acuan internal dengan memikirkan, merasakan, dan mengeksplorasi. Menurut pandangan pendekatan client centered, penggunaan teknik-teknik sebagai muslihat terapis akan mendepersonalisasi hubungan terapis klien. Teknik-teknik harus menjadi suatu pengungkapan yang jujur dari terapis, dan tidak bisa digunakan secara sadar diri sebab terapis tidak akan menjadi sejati.
3.       Analisis Transaksional
·         Basic
Analisis transaksional (AT) adalah analisis transaksional yang dapat digunakan dalam terapi individual, tetapi lebih cocok untuk digunakan dalam terapi kelompok. AT merupakan suatu terapi kontraktual dan desisional. AT melibatkan suatu kontrak yang dibuat oleh klien, yang dengan jelas menyatakan tujuan-tujuan dan arah proses terapi. AT juga berfokus pada putusan-putusan awalk yang dibuat oleh klien dan menekankan kemampuan klien untuk membuat putusan-putusan baru. AT menekankan aspek-aspek kognitif rasional-behavioral dan berorientasi kepada peningkatan kesadaran sehingga klien akan mampu membuat putusan-putusan baru dan mengubah cara hidupnya. Pendekatan ini dikembangkan oleh Eric Berne, berlandaskan suatu teori kepribadian yang berkenaan dengan analisis structural dan transaksional. Teori ini menyajikan suatu kerangka bagi analisis terhadap tiga kedudukan ego yang terpisah, yaitu: orang tua, orang dewasa, dan anak. AT berakar pada suatu filsafat yang anti deterministikserta menekankan bahwa manusia sanggup melampaui pengondisian dan pemrograman awal.
·         Therapeutic Relationship
AT adalah suatu bentuk terapi berdasarkan kontrak. Suatu kontrak dalam AT mmenyiratkan bahwa seseorang akan berubah. Kontrak haruslah spesifik, ditetapkan secara jelas, dan dinyatakan secara ringkas. Kontrak menyatakan apa yang akan dilakukan oleh klien, bagaimana klien akan melangkah kea rah tujuan-tujuan yang telah ditetapkannya, dan kapan klien mengetahhui saat kontraknya habis. Sebagai sesuatu yang dapat diubah, kontrak-kontrak bisa dibuat bertahap-tahap. Terapis akan mendukung dan bekerja sesuai dengan kontrak yang bagi klien adalah kontrak terapi.
·         Teknik dan Prosedur Terapeutik
Dalam praktek AT, teknik-teknik yang digunakan dari berbagai sumber, terutama dari terapi gestalt yang digunakan. AT pada mulanya direncanakan sebagai suatu bentuk treatment kelompokk dan prosedur-prosedur terapeutiknya memberikan hasil dalam setting kelompok. Dalam setting kelompok, orang-orang bisa mengamati perubahan orang lain yang memberikan kepada mereka model-model bagi peningkatan kebebasan memilih. Mereka menjadi paham atas struktur dan fungsi kepribadian mereka sendiri serta belajar bagaimana bertransaksi dengan orang lain.
4.       Behavioral
·         Basic
Berlandaskan teori belajar, modifikasi tingkah laku dan terapi tingkah laku adalah pendekatan-pendekatan terhadap konseling dan psikoterapi yang berurusan dengan pengubahan tingkah laku. Perkembangan terapi-terapi tingkah laku ditandai oleh suatu pertumbuhan yang fenomenal sejak akhir tahun 1950-an. Pada awal tahun 1960-an, laporan-laporan tentang penggunaan teknik-teknik terapi tingkah laku sekali-sekali muncul dalam kepustakaan professional. Sekarang, modifikasi tingkah laku dan terapi tingkah laku menduduki tempat yang penting dalam lapangan psikoterapi dalam banyak area pendidikan. Behaviorisme adalah suatu pandangan ilmiah tentang tingkah laku manusia. Dalil dasarnya adalah bahwa tingkah laku itu tertib dan bahwa eksperimen yang dikendalikan dengan cermat akan menyingkapkan hukum-hukum yang mengendalikan tingkah laku. Behaviorisme ditandai oleh sikap membatasi metode-metode dan prosedur-prosedur pada data yang dapat diamati.
·         Therapeutic Relationship
Ada suatu kecenderungan yang menjadi bagian dari sejumlah kritik untuk menggolongkan hubungan antara terapis dan klien dalam terapi tingkah laku sebagai hubungan yang mekanis, manipulative, dan sangat impersonal. Bagaimanapun sebagian besar penulis di bidang terapi tingkah laku, khususnya Wolpe (1968, 1969), menyatakan bahwa pembentukan hubungan pribadi yang baik adalah salah satu aspek yang esensial dalam proses terapeutik.
·         Teknik dan Prosedur Terapeutik
1.       Desensitisasi Sistematik
Digunakan untuk tingkah laku yang diperkuat secara negative, dan ia menyertakan pemunculan tingkah laku atau respons yang berlawanana dengan tingkah laku yang hendak dihapuskan itu.
2.       Teknik Implosif dan Pembanjiran
Teknik ini terdiri atas pemunculan stimulus berkondisi secara berulang-ulang tanpa pemberian perkuatan. Teknik pembanjiran berbeda dengan teknik desensitisasi sistematik dalam arti teknik pembanjiran tidak menggunakan agen pengondisian baik maupun tingkatan kecemasan.
3.       Latihan Asertif
Latihan asertif akan membantu bagi orang-orang yang (1) tidak mampu mengungkapkan kemarahan atau perasaan tersinggung, (2) menunjukan kesopanan yang berlebihan dan selalu mendorong orang lain untuk mendahuluinya, (3) memiliki kesulitan untuk mengatakan “tidak”, (4) mengalami kesulitan untuk mengungkapkan afeksi dan respon-respon positif lainnya, (5) merasa tidak punya hak untuk memiliki perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran sendiri.
4.       Terapi Aversi
Terapi aversi digunakan untuk meredakan gangguan behavioral yang spesifik, melibatkan pengasosiasian tingkah laku simtomatik dengan suatu stimulus yang menyakitkan sampai tingkah laku yang tidak diinginkan terhambat kemunculannya.
Stimulus-stimulus aversi biasanya berupa hukuman dengana kejutan listrik atau pemberian ramuan yanga membuat mual.
5.       Pengondisian Operan
6.       Perkuatan Positif
7.       Pembentukan Respons
8.       Perkuatan Intermiten
9.       Penghapusan
10.   Percontohan
11.   Token Economy







Monday, May 19, 2014

Step and Stage, Nggak Cukup Sekali Temukan Masalah Klien



Konselor bukanlah seorang malaikat yang dalam sekejap dapa mengetahui apa yang dibutuhkan oleh klien, bukan juga seorang dukun yang dapat mengerti klien tanpa membutuhkan bicara. Lalu, konselor pun membutuhkan beberapa tahapan untuk menyelami masalah yang ada pada klien. Iya, bahkan tak cukup sekali untuk menyelasaikan masalah pada klien. Konselor perlu mengidentifikasi berdasarkan tahapan-tahapan untuk memudahkan penyelesaian masalah tersebut.
Stage Counseling
1.      Initial Stage (tahap permulaan)
Tahapan ini biasanya digunakan oleh konselor untuk membangun rapport yang baik. Misalkan:
o   Giving netral question. Dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan netral untuk membangun keakraban antara klien dan konselor.
-          Bagaimana perasaan Anda hari ini?
-          Bagaimana perjalanan Anda tadi?
o   Introduction. Memperkenalkan diri terlebih dahulu sebelum ke tahapan inti.
o   Menjelaskan prinsip kerahasiaan

2.      Middle Stage (tahap pertengahan)
Pada tahap ini konselor mulai mengidentifikasi masalah pada klien.
-          Dimulai dengan mencari akar permasalahan
-          Problem specification

3.      Closing Stage (tahap penutupan)
Tahap ketiga ini merupakan tahap terakhir dari proses konseling, di mana konselor membuat kesimpulan dan merangkum dari permasalahan yang dialami oleh klien. Lalu, membuat janji untuk bertemu kembali dilain waktu. Karena menyelesaikan masalah tidak cukup hanya sekali bertemu.

Namun, beda lagi dengan apa yang dikatakan dalam buku The Skilled Counselor Training Model. Walaupun serupa, tapi dalam buku tersebut menyebutkan tahapannya lebih terperinci, dan membaginya ke dalam 3 tahapan konseling, 6 proses konseling dan 18 skills dalam konseling. Yaitu:
1.      Exploring Stage
Dalam exploring Stage, konselor mencoba membangun hubungan dengan klien dengan empati dan kehangatan. Konselor mencoba untuk membangun komunikasi yang harmoni di tahapan ini.
-          Attending
o   Eye contact
o   Body language
o   Verbal tracking
-          Question and reflecting
o   Opened ended questioning
o   Paraphrasing
-          Summarizing

2.      Understanding Stage
Understanding stage merupakan tahap isi dari proses konseling, di mana terjadinya proses pertukaran perasaan antara konselor dan klien.
-          Interchangeable empathy
o   Stating feeling and content
o   Self disclosure
o   Asking for concrete and specific experience
-          Addictive empathy
o   Immediacy
o   Identifying general
o   Problem situation, action taken, and feelings confronting in a caring war

3.      Acting Stage
Acting Stage merupakan tahapan terakhir dari ketiga tahap dalam konseling
-          Decision making
o   Deciding
o   Choosing
o   Identifying
o   Consequences
-          Contracting
o   Reacting agreements
o   Setting deadlines
-          Reviewing goal and action to determine outcome

Lalu, dari penjelasan stage dalam proses konseling di atas, manakah yang lebih Anda suka? Semua tergantung dengan renfrensi dan pendekatan yang Anda gunakan.

Tuesday, April 15, 2014

CHARACTERISTICS OF THE EFFECTIVE AND PROFESSIONAL COUNSELOR



Baiklah, rasanya tak perlu berlama-lama untuk mencari ide dalam tulisan dengan tema yang sangat menarik ini, khususnya bagi saya. Begitu saya menyalakan laptop dan mengingat tema pada perkuliahan Psikologi Konseling oleh Bpk. Bambang Suryadi pada tanggal 26 Maret, tentang Characteristics of the Effective and Profesional Counselor, tiba-tiba pikiran saya menjelajah jauh mendekati masa-masa terakhir di SMA dulu. Cita-cita untuk masuk PTN, yang rasanya hanya sebuah bahan cemoohan. Terlebih ketika saya merasa kalau cita-cita yang telah direncanakan ini, hanya dipandang sebelah mata oleh beberapa guru di sekolah. Dan salah satunya adalah guru BP. Inilah yang tidak pernah saya lupa sampai sekarang, yang awalnya membuat sakit hati, namun berubah jadi motivasi. Saya yang sejak kelas IX SMA, menjadi bagian dari kelas IX IS 5. Yaitu kelas terakhir dengan semua kenakalannya, para guru pun tak pernah kuat berlama-lama mengajar di kelas ini. Entah kenapa saya bisa berada di kelas ini. Apakah karena masalah kehadiran yang sering saya gunakan untuk kegiatan organisasi atau bukan? Entahlah.. 


Rasanya masih ingat jelas sewaktu Bapak Wali kelas mengatakan bahwa nilai saya terlalu rendah untuk masuk PTN. Beliau mengatakannya di depan teman satu kelas, di sela penjelasan mata pelajaran B. Indonesia, dengan ekspresi yang tak diinginkan, dan tanpa ada kata motivasi sedikitpun. Tanpa sengaja, beliau membuat hati saya menangis. Mematahkan satu cita-cita saya. Seorang wali kelas yang saya pikir akan memotivasi untuk mengikuti tes PTN tanpa nilai raport lainnya, ternyata hanya membuat saya merasa lunglai di depan teman-teman sekelas.
Lain di kelas, lain juga di ruang Konseling atau BP. Nilai raport saya tetap di tolak, walaupun dengan lebih halus dan tanpa harus memepermalukan saya di depan teman sekelas karena memiliki nilai terlalu rendah dari standar jalur PMDK untuk PTN. Maklum sajalah walaupun saya tak lepas dari peringkat tiga besar di kelas, tapi ada satu hal yang dilupakan, yaitu saya berada di kelas terakhir dengan anak-anak yang memiliki riwayat kasus kenakalan yang berbeda-beda. Kelas ini memiliki standar nilai yang paling rendah dibanding kelas lain. Jangankan untuk bersaing di tingkat nasional, antar kelaspun nilai saya masih rendah. Walaupun sudah berprestasi di kelas sendiri, tapi semua tidak cukup. Saya masih mendapat perlakuan yang tidak menyenang di ruang ini, yang awalnya saya merasa akan sedikit termotivasi di ruangan Konseling. Namun, hasilnya sama saja. Nilai masih saja menjadi orientasi utama, tak ada kata lain untuk ukuran sebuah nilai. Nilai saya menjadi tumbal lagi, saya di tolak tanpa embel-embel, dan seorang guru BP menawari saya untuk masuk tes PMDK D3 di Untirta Serang, tanpa mengikutsertakan motivasi-motivasi untuk mengikuti SNMPTN. Jelas-jelas tawaran itu saya tolak, karena bukan S1. Dan jauh melenceng dari cita-cita saya. 


Ternyata, tidak semua konselor memiliki kualifikasi yang seharusnya sebagai seorang konselor. Cerita di atas hanyalah satu dari seribu konselor tanpa kulifikasi standar sebagai seorang konselor. Bukan maksud hati merendakan almamater  SMA saya, dan membuka kembali luka lama kenangan SMA. Tapi, saya menulis cerita ini hanya sebagai sebuah kasus semata, tanpa mengahrapkan keuntungan, atau perasaan suka dan tidak suka setelah membaca tulisan ini. Konselor yang seharusnya memiliki latar belakang S1 dari bimbingan konseling dan PPK (pendidikan profesi konseling) hanya dimiliki beberapa orang saja di SMA saya terdahulu, selebihnya adalah guru bidang pelajaran yang dijadikan guru BP/BK karena “tampang” sangar yang ditakuti siswa dan kekurangan tenaga sebagai guru BP/BK. Pantas saja, ada beberapa guru BP/BK yang tidak bersahabat serta tidak sesuai menangani siswanya. Hanya sekedar menggunakan pendekatan hukuman, hukuman, dan hukuman. Berbicara tentang karakteristik, apa saja sih karakteristik yang harus dimiiliki oleh seorang konselor profesional, yang membedakan seorang konselor dan bukan konselor?
1.   Academic Qualification
Latar belakang pendidikan minimal S1 Bimbingan Konseling dan PPK (pendidikan profesi konseling)
2.   Work Experience
Memiliki pengalaman di bidang konselor minimal selama 3 tahun. Dalam kompetensi: pedagogic, personal, sosial, dan professional.



Adapun beberapa karakteristik yang harus dimiliki setiap orang konselor, yaitu:
1.   Memiliki identitas sebagai konselor
2.   Menghormati dan menghargai diri sendiri
3.   Mampu mengenali diri sendiri
4.   Terbuka terhadap perubahan
5.   Memiliki kesadaran diri
6.   Memiliki toleransi terhadap hal yang bias
7.   Memiliki dan mengembangkan gaya konseling
8.   Bisa mengalami dan mengetahui dunia klien
9.   Merasa hidup dan berorientasi pada hidup
10.        Tulus dan jujur
11.        Memiliki rasa humor
12.        Bersedia mengakui kesalahan
13.        Menghargai pengaruh budaya
14.        Mampu menemukan diri sendiri
15.        Memiliki minat yang tulus terhadap kesehjateraan orang lain

Banyaknya kebutuhan akan konselor membuat karakteristik tersebut tidak terpenuhi, dan menimbulkan konselor yang tidak berkompeten dan bekerja secara tidak profesional menjamur. Bagaikan sebuah lingkaran setan yang tidak pernah ada akhirnya. Kebutuhan akan konselor yang belum terpenuhi, membuat beberapa instansi merekrut beberapa konselor yang bukan S1 Konseling dan konselor baru yang masih memiliki banyak masalah, karena belum memiliki pengalaman sebagai konselor. Biasanya masalah tersebut muncul di awal pekerjaan mereka, yaitu:
1.   Kesulitan mengetahui gaya konseling
2.   Menghadapi klien yang tidak komit dan silent
3.   Gelisah
4.   Membangun tujuan yang realistis
5.   Menerima hasil yang lambat
6.   Dll.