Baiklah, rasanya tak perlu berlama-lama untuk
mencari ide dalam tulisan dengan tema yang sangat menarik ini, khususnya bagi
saya. Begitu saya menyalakan laptop dan mengingat tema pada perkuliahan
Psikologi Konseling oleh Bpk. Bambang Suryadi pada tanggal 26 Maret, tentang Characteristics of the Effective and Profesional
Counselor, tiba-tiba pikiran saya menjelajah jauh mendekati masa-masa
terakhir di SMA dulu. Cita-cita untuk masuk PTN, yang rasanya hanya sebuah
bahan cemoohan. Terlebih ketika saya merasa kalau cita-cita yang telah
direncanakan ini, hanya dipandang sebelah mata oleh beberapa guru di sekolah.
Dan salah satunya adalah guru BP. Inilah yang tidak pernah saya lupa sampai
sekarang, yang awalnya membuat sakit hati, namun berubah jadi motivasi. Saya
yang sejak kelas IX SMA, menjadi bagian dari kelas IX IS 5. Yaitu kelas
terakhir dengan semua kenakalannya, para guru pun tak pernah kuat berlama-lama
mengajar di kelas ini. Entah kenapa saya bisa berada di kelas ini. Apakah
karena masalah kehadiran yang sering saya gunakan untuk kegiatan organisasi
atau bukan? Entahlah..
Rasanya masih ingat jelas sewaktu Bapak Wali
kelas mengatakan bahwa nilai saya terlalu rendah untuk masuk PTN. Beliau mengatakannya
di depan teman satu kelas, di sela penjelasan mata pelajaran B. Indonesia,
dengan ekspresi yang tak diinginkan, dan tanpa ada kata motivasi sedikitpun.
Tanpa sengaja, beliau membuat hati saya menangis. Mematahkan satu cita-cita
saya. Seorang wali kelas yang saya pikir akan memotivasi untuk mengikuti tes PTN
tanpa nilai raport lainnya, ternyata hanya membuat saya merasa lunglai di depan
teman-teman sekelas.
Lain di kelas, lain juga di ruang Konseling atau
BP. Nilai raport saya tetap di tolak, walaupun dengan lebih halus dan tanpa
harus memepermalukan saya di depan teman sekelas karena memiliki nilai terlalu
rendah dari standar jalur PMDK untuk PTN. Maklum sajalah walaupun saya tak
lepas dari peringkat tiga besar di kelas, tapi ada satu hal yang dilupakan,
yaitu saya berada di kelas terakhir dengan anak-anak yang memiliki riwayat
kasus kenakalan yang berbeda-beda. Kelas ini memiliki standar nilai yang paling
rendah dibanding kelas lain. Jangankan untuk bersaing di tingkat nasional,
antar kelaspun nilai saya masih rendah. Walaupun sudah berprestasi di kelas
sendiri, tapi semua tidak cukup. Saya masih mendapat perlakuan yang tidak
menyenang di ruang ini, yang awalnya saya merasa akan sedikit termotivasi di
ruangan Konseling. Namun, hasilnya sama saja. Nilai masih saja menjadi
orientasi utama, tak ada kata lain untuk ukuran sebuah nilai. Nilai saya
menjadi tumbal lagi, saya di tolak tanpa embel-embel, dan seorang guru BP
menawari saya untuk masuk tes PMDK D3 di Untirta Serang, tanpa mengikutsertakan
motivasi-motivasi untuk mengikuti SNMPTN. Jelas-jelas tawaran itu saya tolak,
karena bukan S1. Dan jauh melenceng dari cita-cita saya.
Ternyata, tidak semua konselor memiliki
kualifikasi yang seharusnya sebagai seorang konselor. Cerita di atas hanyalah
satu dari seribu konselor tanpa kulifikasi standar sebagai seorang konselor.
Bukan maksud hati merendakan almamater SMA
saya, dan membuka kembali luka lama kenangan SMA. Tapi, saya menulis cerita ini
hanya sebagai sebuah kasus semata, tanpa mengahrapkan keuntungan, atau perasaan
suka dan tidak suka setelah membaca tulisan ini. Konselor yang seharusnya
memiliki latar belakang S1 dari bimbingan konseling dan PPK (pendidikan profesi
konseling) hanya dimiliki beberapa orang saja di SMA saya terdahulu, selebihnya
adalah guru bidang pelajaran yang dijadikan guru BP/BK karena “tampang” sangar
yang ditakuti siswa dan kekurangan tenaga sebagai guru BP/BK. Pantas saja, ada
beberapa guru BP/BK yang tidak bersahabat serta tidak sesuai menangani
siswanya. Hanya sekedar menggunakan pendekatan hukuman, hukuman, dan hukuman.
Berbicara tentang karakteristik, apa saja sih karakteristik yang harus
dimiiliki oleh seorang konselor profesional, yang membedakan seorang konselor
dan bukan konselor?
1.
Academic
Qualification
Latar belakang pendidikan minimal S1 Bimbingan
Konseling dan PPK (pendidikan profesi konseling)
2.
Work
Experience
Memiliki pengalaman di bidang konselor minimal
selama 3 tahun. Dalam kompetensi: pedagogic, personal, sosial, dan
professional.
Adapun beberapa karakteristik yang harus dimiliki
setiap orang konselor, yaitu:
1.
Memiliki
identitas sebagai konselor
2.
Menghormati
dan menghargai diri sendiri
3.
Mampu
mengenali diri sendiri
4.
Terbuka
terhadap perubahan
5.
Memiliki
kesadaran diri
6.
Memiliki
toleransi terhadap hal yang bias
7.
Memiliki dan mengembangkan
gaya konseling
8.
Bisa mengalami
dan mengetahui dunia klien
9.
Merasa hidup
dan berorientasi pada hidup
10.
Tulus dan
jujur
11.
Memiliki rasa humor
12.
Bersedia
mengakui kesalahan
13.
Menghargai
pengaruh budaya
14.
Mampu
menemukan diri sendiri
15.
Memiliki minat
yang tulus terhadap kesehjateraan orang lain
Banyaknya kebutuhan akan konselor membuat
karakteristik tersebut tidak terpenuhi, dan menimbulkan konselor yang tidak
berkompeten dan bekerja secara tidak profesional menjamur. Bagaikan sebuah
lingkaran setan yang tidak pernah ada akhirnya. Kebutuhan akan konselor yang
belum terpenuhi, membuat beberapa instansi merekrut beberapa konselor yang
bukan S1 Konseling dan konselor baru yang masih memiliki banyak masalah, karena
belum memiliki pengalaman sebagai konselor. Biasanya masalah tersebut muncul di
awal pekerjaan mereka, yaitu:
1.
Kesulitan
mengetahui gaya konseling
2.
Menghadapi
klien yang tidak komit dan silent
3.
Gelisah
4.
Membangun
tujuan yang realistis
5.
Menerima hasil
yang lambat
6.
Dll.