Tuesday, April 15, 2014

CHARACTERISTICS OF THE EFFECTIVE AND PROFESSIONAL COUNSELOR



Baiklah, rasanya tak perlu berlama-lama untuk mencari ide dalam tulisan dengan tema yang sangat menarik ini, khususnya bagi saya. Begitu saya menyalakan laptop dan mengingat tema pada perkuliahan Psikologi Konseling oleh Bpk. Bambang Suryadi pada tanggal 26 Maret, tentang Characteristics of the Effective and Profesional Counselor, tiba-tiba pikiran saya menjelajah jauh mendekati masa-masa terakhir di SMA dulu. Cita-cita untuk masuk PTN, yang rasanya hanya sebuah bahan cemoohan. Terlebih ketika saya merasa kalau cita-cita yang telah direncanakan ini, hanya dipandang sebelah mata oleh beberapa guru di sekolah. Dan salah satunya adalah guru BP. Inilah yang tidak pernah saya lupa sampai sekarang, yang awalnya membuat sakit hati, namun berubah jadi motivasi. Saya yang sejak kelas IX SMA, menjadi bagian dari kelas IX IS 5. Yaitu kelas terakhir dengan semua kenakalannya, para guru pun tak pernah kuat berlama-lama mengajar di kelas ini. Entah kenapa saya bisa berada di kelas ini. Apakah karena masalah kehadiran yang sering saya gunakan untuk kegiatan organisasi atau bukan? Entahlah.. 


Rasanya masih ingat jelas sewaktu Bapak Wali kelas mengatakan bahwa nilai saya terlalu rendah untuk masuk PTN. Beliau mengatakannya di depan teman satu kelas, di sela penjelasan mata pelajaran B. Indonesia, dengan ekspresi yang tak diinginkan, dan tanpa ada kata motivasi sedikitpun. Tanpa sengaja, beliau membuat hati saya menangis. Mematahkan satu cita-cita saya. Seorang wali kelas yang saya pikir akan memotivasi untuk mengikuti tes PTN tanpa nilai raport lainnya, ternyata hanya membuat saya merasa lunglai di depan teman-teman sekelas.
Lain di kelas, lain juga di ruang Konseling atau BP. Nilai raport saya tetap di tolak, walaupun dengan lebih halus dan tanpa harus memepermalukan saya di depan teman sekelas karena memiliki nilai terlalu rendah dari standar jalur PMDK untuk PTN. Maklum sajalah walaupun saya tak lepas dari peringkat tiga besar di kelas, tapi ada satu hal yang dilupakan, yaitu saya berada di kelas terakhir dengan anak-anak yang memiliki riwayat kasus kenakalan yang berbeda-beda. Kelas ini memiliki standar nilai yang paling rendah dibanding kelas lain. Jangankan untuk bersaing di tingkat nasional, antar kelaspun nilai saya masih rendah. Walaupun sudah berprestasi di kelas sendiri, tapi semua tidak cukup. Saya masih mendapat perlakuan yang tidak menyenang di ruang ini, yang awalnya saya merasa akan sedikit termotivasi di ruangan Konseling. Namun, hasilnya sama saja. Nilai masih saja menjadi orientasi utama, tak ada kata lain untuk ukuran sebuah nilai. Nilai saya menjadi tumbal lagi, saya di tolak tanpa embel-embel, dan seorang guru BP menawari saya untuk masuk tes PMDK D3 di Untirta Serang, tanpa mengikutsertakan motivasi-motivasi untuk mengikuti SNMPTN. Jelas-jelas tawaran itu saya tolak, karena bukan S1. Dan jauh melenceng dari cita-cita saya. 


Ternyata, tidak semua konselor memiliki kualifikasi yang seharusnya sebagai seorang konselor. Cerita di atas hanyalah satu dari seribu konselor tanpa kulifikasi standar sebagai seorang konselor. Bukan maksud hati merendakan almamater  SMA saya, dan membuka kembali luka lama kenangan SMA. Tapi, saya menulis cerita ini hanya sebagai sebuah kasus semata, tanpa mengahrapkan keuntungan, atau perasaan suka dan tidak suka setelah membaca tulisan ini. Konselor yang seharusnya memiliki latar belakang S1 dari bimbingan konseling dan PPK (pendidikan profesi konseling) hanya dimiliki beberapa orang saja di SMA saya terdahulu, selebihnya adalah guru bidang pelajaran yang dijadikan guru BP/BK karena “tampang” sangar yang ditakuti siswa dan kekurangan tenaga sebagai guru BP/BK. Pantas saja, ada beberapa guru BP/BK yang tidak bersahabat serta tidak sesuai menangani siswanya. Hanya sekedar menggunakan pendekatan hukuman, hukuman, dan hukuman. Berbicara tentang karakteristik, apa saja sih karakteristik yang harus dimiiliki oleh seorang konselor profesional, yang membedakan seorang konselor dan bukan konselor?
1.   Academic Qualification
Latar belakang pendidikan minimal S1 Bimbingan Konseling dan PPK (pendidikan profesi konseling)
2.   Work Experience
Memiliki pengalaman di bidang konselor minimal selama 3 tahun. Dalam kompetensi: pedagogic, personal, sosial, dan professional.



Adapun beberapa karakteristik yang harus dimiliki setiap orang konselor, yaitu:
1.   Memiliki identitas sebagai konselor
2.   Menghormati dan menghargai diri sendiri
3.   Mampu mengenali diri sendiri
4.   Terbuka terhadap perubahan
5.   Memiliki kesadaran diri
6.   Memiliki toleransi terhadap hal yang bias
7.   Memiliki dan mengembangkan gaya konseling
8.   Bisa mengalami dan mengetahui dunia klien
9.   Merasa hidup dan berorientasi pada hidup
10.        Tulus dan jujur
11.        Memiliki rasa humor
12.        Bersedia mengakui kesalahan
13.        Menghargai pengaruh budaya
14.        Mampu menemukan diri sendiri
15.        Memiliki minat yang tulus terhadap kesehjateraan orang lain

Banyaknya kebutuhan akan konselor membuat karakteristik tersebut tidak terpenuhi, dan menimbulkan konselor yang tidak berkompeten dan bekerja secara tidak profesional menjamur. Bagaikan sebuah lingkaran setan yang tidak pernah ada akhirnya. Kebutuhan akan konselor yang belum terpenuhi, membuat beberapa instansi merekrut beberapa konselor yang bukan S1 Konseling dan konselor baru yang masih memiliki banyak masalah, karena belum memiliki pengalaman sebagai konselor. Biasanya masalah tersebut muncul di awal pekerjaan mereka, yaitu:
1.   Kesulitan mengetahui gaya konseling
2.   Menghadapi klien yang tidak komit dan silent
3.   Gelisah
4.   Membangun tujuan yang realistis
5.   Menerima hasil yang lambat
6.   Dll.



Sunday, April 13, 2014

Counseling Approach, Counseling Types and Counselor Respon

·         Counseling Approach
Dalam melakukan kegiatan konseling dibagi ke dalam tiga pendekatan, yang disesuaikan dengan kondisi klien, kasus yang dihadapi dan lamanya waktu yang dibutuhkan seorang konselor untuk membatu klien. Yaitu:
1.      Directive Approach
Dalam pendekatan ini sang konselor lebih dominan menguasai kegiatan konseling dibandingkan dengan klien.
2.      Non Directive
Untuk pendekatan kedua ini, membutuhkan waktu yang lama. Biasanya digunakan untuk jenis kasus yang tidak dapat diselesaikan dalam satu, dua pertemuan saja.
3.      Eklectif Cooperatif
Pendekatan ini merupakan perpaduan antara kedua pendekatan di atas.

Lalu, which approach the best??
Ya, sebagian dari kita pasti akan menjawab eklectif cooperative sebagai pendekatan yang terbaik. Karena secara implicit, kita dapat menyimpulkan bahwa dalam eklectif cooperation dapat digunakan untuk berbagai klien dengan kasus yang bermacam pula. Tapi, tidak seperti itu, tidak ada pendekatan yang paling baik. Kenapa? Ok, sekarang marilah kita kembali ke penjelasan awal tadi. Pendekatan dalam kegiatan konseling harus disesuaikan dengan kondisi klien, kasus yang dihadapi dan lamanya waktu yang dibutuhkan seorang konselor untuk membantu klien. Maka dari itu, seorang konselor harus menguasai segala metode dalam pendekatan tersebut, sesuai dengan kebutuhan klien.

·         Counseling Types
Tipe-tipe dalam konseling terbagi menjadi tiga bagian juga, yaitu:
1.      Individual counseling
Merupakan kegiatan konseling yang dilakukan dengan seorang klien. Kegiatan konseling sangat tergantung pada kondisi dan masalah pada klien
2.      Group counseling
Merupakan konseling yang dilakukan secara berkelompok, dengan klien yang memiliki riwayat masalah yang serupa.
3.      Peer counseling
Kegiatan konseling yang terjadi di lingkungan teman sebaya atau teman dekat

Lalu, manakah diantara ketiga tipe konseling yang memakan waktu paling lama?
Jawabannya adalah individual counseling. Karena masalah serupa pada klien tipe group counseling akan memiliki waktu yang lebih efektif dibandingkan deng individual counseling. Untuk lebih jelasnya bisa di lihat pada table di bawah ini.


Individual
Group
Peer

1:1
1>1
2-6
1>1
Time
Longer
Efektif

Problem
Different
Similar

Role


Replace by Peer

·         Counselor Response
1.      Verbal Response
Verbal response, merupakan response yang dikeluarkan oleh konselor dalam bentuk verbal. Ada yang menarik dalam pembahasan verbal response ini. Dalam perkuliahan Psikologi Konseling pada tanggal 2 April 2014, Pak Bambang Suryadi selaku dosen, meminta mahasiswanya untuk menyingkat kata untuk mempermudah dalam mengingat  sebelas respon yang biasa dikeluarkan oleh seorang konselor secara verbal. Kemudian, di dapatlah singkatan RIS GARRIS FC. Kata beraromakan Madura tersebut, berhasil dirampungkan oleh seorang mahasiswi asli Betawi, namun penyuka kuliner Madura bernama Shavira. Lalu, Pak Bambang dan mahasiswa lain sepakat menjadikan kata tersebut sebagai singkatan yang menarik untuk diingat.


R estatements
I nterpretation
S ummary                         

G eneralead
A ccepted
R eassurance
R ejection
I nterpellated
S upposition

F asilitation
C larification
      
2.      Non verbal Response (Body Language)

o   Head nodding (menganggukan kepala)
o   Vocational smiling
o   Gesturing
o   Eye contact
o   Touching
o   Tone voice

Adapun respon noverbal yang harus dihindari oleh seorang konselor:
o   Hand Folding
o   Memasukan tangan ke saku
o   Crossing leg (melipat kaki di atas kaki lain)

Kedua respon tersebut, baik verbal maupun nonverbal menunjukan adanya perhatian terhadap klien dari seorang konselor.